A Little Introducing

Malang, Jawa Timur, Indonesia
Birth name Ilham Rianto. Im just an ordinary guy with some ordinary writings who one day will be a movie director.

Selasa, 28 Januari 2014

Malam Ritual Chapter 3



Sebenarnya mau post chapter 3 buat bulan Februari, tetapi kelamaan aku post sekarang aja, ohya kalo ada kesalahan tulisan ejaan, atau kata-kata yang kurang tepat bilang yiah :D
 

 Malam Ritual Chapter 3



         Lu udah mati GOBLOK! Emosi sudah tak perlu kukendalikan lagi dalam situasi seperti ini. Kita bertiga hanya berdiam diri melihatnya. Rupanya seperti rupa zombie yang ada di film The Walking Dead. Tapi ini bukan zombie… Ini dunia asli. Kali ini Rizal tak mengucapkan sepatah kata apapun. Ia hanya berdiam diri seperti aku dan Fadil. Kami ketakutan… Sudah cukup banyak hal yang terjadi di malam itu. Pocong itu kini hanya berdiam diri menatap kita dengan mata merahnya itu. Secara perlahan mulutnya membuka dan pada puncaknya ia berteriak dengan sangat keras! Lalu ia menghilang, seolah debu tidak pernah ada.


Kaki kini melangkah dengan sendirinya, otak sudah tak memerintah lagi. Otak terisi dengan sebuah rasa kebingungan dan ketakutan dari peristiwa ini. ‘Tolong’ kenapa orang yang sudah tiada lagi masih meminta tolong? Kenapa mereka masih ada di dunia ini? Apa yang mereka minta dari kita? PERTOLONGAN APA?! 


Berlari menghasilkan air dari dalam kulit menetes keluar. Langkah-langkah yang tak menggunakan pikiran tanpa menentukan arah. Terlihat seseorang berjubah hitam berjalan menuju ke arah ktia. Kita kemudian berhenti, mungkin ia akan menolong kita.


“Kalian siapa?” Si jubah hitam bertanya. Ia memakai kalung yang sama dengan apa yang kita lihat dalam perjalanan ke mobil. Segitiga lingkaran.
            “Kami tersesat, tolong bantu kami.” Rizal menjawab pertanyaannya.
“Oke, ikuti aku.” Itukah balasan dari sang jubah hitam. Sesuatu pasti ada yang tidak beres dan aku bisa merasakannya. Tetapi Rizal dan Fadil mengikutinya tanpa merasakan apapun dibenak mereka. Jadi aku terpaksa ikut dengan mereka dengan memendam perasaan tidak beres ini. Kita terus berjalan hingga terdengar seorang perempuan bernyanyi sinden jawa lalu terlihat sebuah lapangan kecil yang terang dengan begitu banyak lilin disekitarnya. Terlihat juga orang lain berjubah hitam lainnya disitu. Ada juga seorang perempuan, sepertinya ia mulai menelanjangkan diri. Tanpa kita sadari, kita tiba-tiba pingsan di tempat dan yang dapat kulihat saat itu hanyalah 5 orang berjubah hitam melihat kita dari atas. Lalu dengan mataku yang buram kulihat sesuatu di atas pohon tinggi yang ada disekitar kami saat itu. Putih dan berambut… Itu sang kuntilanak! Ia terlihat berteriak-teriak seperti yang kita lihat sebelumnya tetapi tak ada suara apapun yang terdengar. Mataku akhirnya tertutup.

~|~|~ 



Ketiduran… Ternyata teman-temanku pada jahilin gue saat gue lagi tidur. Ketiduran itu membuatku teringat apa yang terjadi seminggu yang lalu. Ahh… Kejadian itu masih saja membuntutiku. Tak bisa menerima apa yang telah terjadi. Mimpi-mimpiku belum bisa tenang. Aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan mukaku yang telah dicoret-coret oleh teman-teman. Mereka menggambar 3 kumis di samping kanan dan kiri pipiku.

~|~|~ 



Sebuah kucing berjalan di atas perutku. Aku terbangun dari pingsan yang tak terduga. Entah kenapa kita bisa pingsan. Kami tetap terlentang dengan keadaan begitu lemas tanpa dapat bangkit dari tidur kami. Sepertinya 5 orang berjubah itu hilang. Akhirnya aku dapat menggerakan sedikit badanku, yang kulihat adalah sebuah kepala kambing dengan dua tanduknya yang panjang itu ditengah lilin-lilin itu. Lalu aku menggerakan badanku ke arah berlawanan. Yang terlihat hanyalah Rizal. Dimanakah Fadil menjadi pertanyaanku. Lalu kulihat ke langit, bulan purnama Jum’at Kliwon mungkin adalah tanggalnya saat itu. Kenapa kita tidak percaya pada Mitos? Apabila kita percaya padanya mungkin semua ini tidak mungkin terjadi. Kita tak pernah percaya sama apapun mitos yang orang jawa katakan. Mungkin itu sudah menjadi kesalahan kita apabila kita ingin tinggal di Pulau Jawa ini. Aku mulai bisa bangkit dan duduk menyandar kepada pohon. Kulihat bentuk lilinnya. Sebuah bintang dibalik. Ini lucifer? Apakah mereka orang berjubah itu datang ke sini untuk memanggil sebuah Ibliss? Maksudku, ini bukan cara orang jawa melakukannya kan? Memanggil Ibliss dengan seperti ini?


Sebuah darah tertetes di tanganku, dan aku dengan perlahan menengok ke atas. Aku melihat kepala sang kuntilanak dengan lidahnya menjulur keluar dari mulutnya yang dipenuh oleh darah. Matanya terbuka lebar tetapi pupilnya menghilang. Badannya yang paling penting. Badan sang kuntilanak itu dimana? Yang aku harapkan dari bangun tidur adalah setidaknya ada rasa senangnya sedikit. Tetapi malah seperti ini. Ah nasib nasib… Inikah yang sang kuntilanak meminta pertolongan kepada kita? Persetan dengan dia! Seluruh tubuhku mulai dapat bergerak. Hal pertama yang kulakukan adalah membangunkan Rizal.  Banjir yang mengalir sampai ke pipinya segera ia bersihkan. Bingung ia melihat ke segala arah dan bertanya kepadaku “Kita dimana?” Menanyakan keberadaan kita yang juga aku tak mungkin dapat mengetahuinya. Lebih mengharapakan sebuah pertanyaan seperti ‘Apa yang terjadi?’ Lalu akan kujelaskan bahwa sepertinya mereka takut kepada kucing. Tetapi kenapa hewan kucing?  Apakah seperti dalam film The Mummy? Saat kucing datang si ‘Mummy’ kabur. Entahlah… Rizal berdiri dan melihat bentuk lilin yang terbuat. 


“Ini kan! Ini kan! Bentuk yang biasa dibuat dalam ritual-ritual pemanggilan ibliss itu! Haduh gawat! Kita harus segera pergi dari sini!” Dengan tergesah-gesah ia mengatakannya lalu ia berlari dan kupegang tangannya.

“Bukan itu yang paling gawat, FADIL GAK ADA!”

“HA? FADIL? MANA FADIL?! Sudah! Mungkin dia diambil sama mereka! Ayo kita cari bantuan terlebih dahulu!” Rizal langsung berlari tanpa ku dapat bisa menghentikannya. Kuikuti langkahnya dari belakang sampai ia berhenti. Tampaknya kelelahan, tetapi ternyata bukan itu yang sebenarnya menghentikannya. Terlihat sebuah rumah sakit kecil dengan satu lampu yang hidup di dalam sebuah ruangan dalam rumah sakit itu. Pintu depannya terlihat gelap. Seperti yang kukatakan tadi, hanya ada satu lampu yang terlihat hidup. Rumah sakit itu sepertinya tidak dipakai lagi. Tanpa membawa alat penerang apapun Rizal memasuki rumah sakit itu terlebih dahulu.


“HALOOOOOOOOOOOOOOOOO! ADA ORANG DI DALAM!” Teriak Rizal di depan rumah sakit itu.


“Lu yakin nih Zal?” Aku tak yakin dengan rumah sakit ini karena hanya satu lampu menyala dan tidak ada yang menjawab teriakan rizal.

“Setidaknya kita bisa menemukan senter! Itu yang lebih penting untuk saat ini.” Ia meyakinkanku

Kita memasuki rumah sakit itu berjalan dengan pelan agar tidak terdengar suara langkah dan segera mencari ruangan yang lampunya hidup itu. Aku juga bingung kenapa kita berjalan seperti itu, Rizal kan sudah berteriak tadi. Lalu terlihat bayangan dari sebuah cahaya. Sebelum kita menuju cahaya itu, Rizal tertawa. 
 
“Knapa lagi lu zal?” Tanyaku dengan penasaran

“Lihat tuh, ada bantal terbang”


Bantal terbang itu langsung kulihat. Ia benar, ada sebuah bantal terbang berputar-putar di tempat. Aku jadi ikut tertawa juga, akhirnya sebuah hiburan. Mungkin ini adalah anak Jin yang lagi main-main dengan bantal atau apalah, yang penting bantal terbang itu terlihat menarik. Lalu Rizal mendekati bantal yang sedang melayang itu. Makin mendekat, bantal itu berhenti berputar kemudian terjatuh. Teoriku tadi mungkin benar, itu anak Jin yang sedang bermain-main. Seperti makhluk apapun, apabila sesuatu yang besar datang padanya pasti akan berlari pergi menjauh. “Takut kan dia, sudah ayo masuk ruangan itu.” Ruangan bercahaya itu dengan pintunya tetap terbuka, menyinari darah disekitar pintu ruangan itu seperti yang kita lihat di dalam rumah kosong sebelumnya. Rizal dan aku lalu mengambil sebuah alat pukul untuk berjaga-jaga, aku membawa kayu dan Rizal membawa botol kaca. 


“Siap nih ya, gue lempar nih botol, kalo ada yang keluar langsung lu pukul pake kayu tuh!” Bisik Rizal kepadaku


“Siap Om!” Gue juga balas dengan berbisik. Lalu Rizal melempar botol itu, tetapi tidak ada reaksi apapun dari ruangan itu. Jadi aku memasuki ruangan itu terlebih dahulu. Kita langsung terkejut dengan apa yang terlihat di dalam ruangan itu.


MUTILASI! TANGAN KAKI BADAN! Bagian tubuh dari sang kakek mungkin. Karena bagian tubuhnya sudah terlihat tua kita menyimpulkan bahwa ini adalah bagian-bagian hilang dari sang kakek. Kita memeriksa seluruh ruangan itu untuk mencari sesuatu yang dapat digunakan. Sebuah handphone tua yang memiliki sebuah flash light, baterai setengah penuh tetapi tidak ada file apapun di dalam HP itu. Rizal menaruk sim card nya ke dalam HP itu tetapi percuma saja tidak ada sinyal lagi. Lalu kulihat keluar jendela tampaknya angin mulai bergerak kencang dan secara tiba-tiba munculah sesuatu. Sepertinya itu tubuh si kuntilanak dan kuntilanak itu… Kuntilanak itu memegang kepalanya ditangannya penuh darah. Sedangkan Rizal tetap berusaha mencari sesuatu yang berguna di dalam ruangan itu. “Heh liat nih ada roti, sepertinya masih enak dimakan!”

~|~|~



            “Makan rotinya dulu” Ibundanya Azizah menyuruh kita untuk makan roti buatannya sebelum kita memilih untuk pulang. Hari yang melelahkan buatku, tetapi memang enak roti buatan Ibudanya Azizah. Itu memuaskan perutku Belum 10 menit, sejumlah sekitar dua puluh roti dihabiskan oleh 5 orang. Iya kami memang lapar saat itu. Tetapi rasa kelaparan tidak ada bandingnya dengan kejadian seminggu yang lalu itu.

To Be Continued...

Selasa, 14 Januari 2014

Malam Ritual Chapter 2

Malam Ritual Chapter 2



            Sampai di rumah azizah bersama hadi, sudah ada fara dan arinah disana. Tinggal menunggu satu teman lagi. Lagi-lagi membutuhkan penantian. Jangan-jangan kisah ini akan menjadi seperti lagunya Nikita Willy. Duduk di ruang tamu dengan disajikannya makanan lezat menjadi moodbooster bagiku. Aku memang sedang lumayan lapar. Masakan ibunya Azizah memang lezat, masakan semua ibu lezat. Tanpa kusadari ada handphone nya Rizal di meja. Kupegang dan lihat untuk memastikannya dan yang terlihat adalah handphone nya yang hampir mati kehabisan batterai.

            “Astaga Hpku lobat!” Frustasi Rizal dalam suasana menegangkan itu. “Coba lihat Hp kalian!”

            “Punyaku udah mati sejak di mobil!” Fadil membalas, sambil melihat hpku juga ternyata sudah mati. Power bank nya semua ada di tenda. Sudah tidak ada cara untuk kami menghubungi yang lain. Lalu kita memilih untuk melihat kepala kakek yang tadi kutemui. Memastikan bahwa apa yang aku lihat itu memang benar. Kita berjalan dengan pelan-pelan menuju ruangan itu dan Rizal membuka pintu kamar itu dengan perlahan. Aku di belakang dengan Fadil didepanku lalu Rizal mendorong pintu itu dengan cepat. Kepala kakek itu memang ada dengan darah bercucurun sepanjang tempat tidur. Hal itu makin menjadi misteri bagi kami, apakah kakek ini orangnya kembar? Setelah kita lihat dan selidiki darahnya menuju ke bawah tempat tidur. Kolong tempat tidur tepatnya yang ditutupi selimut. Kita memutuskan untuk membuka dan melihat mengapa darahnya mengarah ke situ. Aku dan Rizal siap melihat ke bawah sedangkan Fadil tak berani, ia bagian menarik selimutnya.

            “Kalian siap?” Tanya Fadil dengan tangannya yang bergemetaran. Tentu saja aku dan Rizal siap, rasa penasaran kami sangat ingin melihatnya.

               “Oke, satu … dua… TIGA!” Fadil menarik selimut itu dengan kencang. Setelah kita lihat apa yang ada di bawah kolong tempat tidur itu aku dan rizal melompat ke belakang dan berteriak. Sedangkan Fadil hanya melihat kita dengan wajah ketakutannya itu.

            “Hey kuntilanak!” Teriak Rizal. Iya yang di bawah tempat tidur itu ialah wanita yang kita lihat sebelumnya, karena kini ia begitu dekat dengan kita, Rizal tanpa banyak pikir memutuskan untuk berbicara langsung dengannya. Sebuah mimpi buruk yang selama ini aku takuti terjadi, hantu dibawah kolong tempat tidur. Sambil merangkak keluar dengan mulut yang tangan yang penuh dengan darah ia keluar. Melihatnya sedekat ini bertiga lebih menenangkan daripada harus melihatnya dari kejauhan di wilayah yang luas. Sampai kepala kuntilanak itu keluar dari bawah kolong tidur, ia kelihatan menangis. Wajahnya begitu menyeramkan, wajah yang begitu pucat, pupil mata yang merah besar dan rambut yang berantakan. Ia makin mendekat kepada Rizal hingga memegang kakinya Rizal.

            “Apa yang kau inginkan dari kami!” Teriak Rizal. Tiba-tiba dengan cepatnya kuntilanak itu bertatapan langsung dengan Rizal dengan jarak hanya beberapa centi saja. Rizal begitu berani menghadapinya, membuatku terkagum dengan keberaniannya. Dalam suasana gelap ini lalu kuntilanak itu mulai berbicara.

         “SIAPA YANG MEMBUNUH ANAKKU!” Teriak kuntilanak itu. Sambil merangkak ke atas tempat tidur memegang kepala sang kakek. Tiba-tiba terdengar benturan keras seperti pintu rumah itu telah terbuka. Aku, Rizal dan Fadli melihat ke sumber suara sedangkan sang kuntilanak menghilang dengan kepala kakek itu tanpa meninggalkan jejak. Kita segera menuju ke ruangan depan tetapi sebelum kita sampai di sana kita mendengar sebuah teriakkan keras seperti suara teriakan ketakutan. Dan saat kita sampai, sang kuntilanak berada disana terlebih dahulu. Sepertinya kuntilanak itu berniat menakuti entah siapa mereka yang mendobrak pintu itu. Lalu kuntilanak itu menghadap kembali kepada kami bertiga.

              “TOLONG CARI PEMBUNUH ANAKKU! TOLONG CARI…!” Kuntilanak itu mengatakan itu dengan berteriak, lalu menangis. Kali ini ia menangis darah, entah kenapa rasa takutku kepadanya sudah mulai menghilang. Ia tak ada maksud jahat kepada kami dan kita tidak menganggunya, ia malah meminta bantuan kepada kita. Tetapi yang menjadi misteri terbesar saat itu adalah kenapa seorang kakek-kakek itu adalah anak sang kuntilanak yang tak terlihat tua sama sekali?

            “Kenapa kau tak mencarinya sendiri?” Fadil menjawabnya. Ini suatu hal yang membuatku terkejut juga. Kenapa Fadil baru bisa berani sekarang? 

          “ME RE KA AKAN MELAKUKAN SEBUAH RITUAL MALAM INI! MEREKA AKAN MEMUSNAHKAN KITA! TOLONG CARI TAU PEMBUNUH ITU!” Kali ini teriakan sang kuntilanak menakutkan kami lagi, teriakan terakhirnya itu benar-benar tidak bisa dilupakan oleh otakku. Setelah ia berteriak itu, ia menghilang. Belum kita introgasi sudah menghilang, benar-benar menyebalkan. Dia bilang ‘kita’, siapakah ‘kita’ itu dalam kalimat terakhirnya. Siapa yang ia maksud?

            Pikiran kami bertiga benar-benar kosong seolah kita dipermainkan dalam sebuah game horror. Kita tidak tau tujuan atau maksud dari semua ini. Berawal dari wajah mencurigakan sang kakek, lalu suara tabrakan mobil yang saat kita berjalan menuju suara tabrakan itu terlihat lilin-lilin terbentuk segita lingkaran dan akhirnya bertemu dengan wanita bergaun putih. Apa yang akan terjadi selanjutnya kepada kita. Pocong? Gendruo? Tuyul? Apalagi? Seharusnya kita membawa sebuah alat perekam agar kita dapat merekam semua kejadian ini dan membuatnya menjadi sebuah film seperti film keramat.

            Satu buah senter menemani kita berjalan kembali menuju ke mobil. Seingatku ada senter cadangan yang disimpan oleh ayahku dibawah kursi mobil. Suasana merinding takut akan bertemu dengan sesuatu yang tidak kita duga-duga, ini tanah luas, tidak seperti di dalam rumah itu tadi. Kami bertiga berpikir untuk keluar dari taman nasional ini mengikuti arus jalan mobil yang kita lalui dan melaporkan semua yang kami alami kepada siapapun yang kita temui diluar sana. Rizal berjalan didepan memegang senternya, fadil ditengah dan aku dibelakang. Fadil memegang pundak rizal, dan aku memegang pundaknya. Kita berdua memandang ke bawah. Kita tak berani untuk melihat ke depan, hanya Rizal lah yang memiliki tekad untuk melihat apapun yang akan terlihat. Tetapi ia tiba-tiba berhenti dan tangannya mulai bergetar lebih kencang.

            “Hey guys, kalian bisa membuka permen kan?” Tanya Rizal kepada kita berdua.

       “Suasana begini masih bisa bercanda, hebat lu zal.” Gue bales dan berpikir hanya buat itukah ia berhenti?

            “Jadi kalian bisa ya, karena ada permen besar, putih, dan atasnya sudah terbuka memiliki dua titik merah.” Perkataannya itu membuat aku dan Fadil terkejut. Kita berdua melihat ke depan dan tidak salah lagi. Itu sebuah penampakan pocong. Iya pocong… Aku segera menutup mulutnya Fadil dengan tanganku, sudah pasti ia akan berteriak seperti kejadian sebelumnya. Sekitar 20 meter jaraknya antara kita dengan pocong itu, tetapi ia makin mendekat. Pocong ini lalu meloncat ke arah kita, loncatannya sekitar 10 meter. Makin mendekat, lalu sebuah suara teriakan terdengar darinya. “TOLONGI KAMI!”

To Be Continued...

Rabu, 08 Januari 2014

Malam Ritual

Malam Ritual


            Malam sunyi ini mengingatku tentang kejadian seminggu yang lalu yang hampir merenggut nyawaku. Sendiri menunggu kedatangan temanku di dekat sebuah taman dikelilingi oleh pohon-pohon yang besar dan tinggi. Serasa aku sedang bermain dalam sebuah acara uji nyali dan jika aku tak kuat aku dapat melambaikan tanganku, naik taxi dan meninggalkan temanku saat ia datang kemari nanti. Rasa takutku sudah hilang sejak kejadian seminggu lalu itu.

            Seminggu yang lalu aku dan teman-temanku pergi untuk berkemah di Taman Nasional Baluran. Kami memang berencana untuk datang ke tempat itu di sore hari. Sudah lengkap semua perlengkapan kita, lalu kita segera menuju ke tempat menggunakan mobil panther milik ayahku. Sepanjang perjalanan, kita bernyanyi menghanguskan rasa bosan kita. Tidak seperti biasanya tempat itu sepi, lalu kami bertanya kepada orang yang sedang berjualan di tempat itu. Semua tutup, hanya satu orang yang berjualan. Dia sudah tua, berambut putih, dan kulitnya sudah mulai keriput. Tetapi, penjelasan yang paling tepat mengenai dirinya adalah wajahnya yang menyeramkan. Kami bertanya, kemana semua orang pergi? Ia malah berbalik tanya kepada kami, kenapa kami tidak ikut pergi?... Lalu aku berpikir sejenak, jika semua orang pergi, apakah dagangan orang tua ini akan laku? Kami semua tidak menjawab apa yang orang tua itu tanyakan, hanya saling pandang dan akhirnya kami pergi meninggalkannya. Kami pergi dan aku hanya menatap wajahnya. Semakin jauh, aku melihatnya tertawa ke arah kami. Aku berkata kepada teman-teman, bahwa sebaiknya kita pergi dari sini tetapi mereka malah menjawab “Kau takut ya?”

            Bayang-bayang senyuman sinis orang tua itu masih menjadi misteri bagiku. Akhirnya kami menemukan tempat yang nyaman untuk mendirikan tenda. Lokasi kami tidak jauh dari tempat kita memarkirkan mobil. Akhirnya teman-temanku segera mendirikan tenda sebelum langit berubah menjadi gelap. Aku hanya berdiri sendiri melihat keadaan yang sepi saat itu. Hanya delapan orang yang ada di tempat itu kalau orang tua itu juga ikut dihitung. Kami hanya bertujuh. Empat laki-laki dan tiga perempuan. Dan hanya kami yang menjadi pengunjung di hari itu.

            Setelah semua kegiatan kami selesai, kami membuat api unggun dan bernyanyi-nyanyi seraya meramaikan suasana sepi di tempat itu. Belum selesai dengan semua kesenangan itu, tak lama kemudian kami mendengar sebuah benturan keras seperti suara mobil yang menabrak pohon. Kami semua terkejut. Aku bersama dua orang temanku menuju ke sumber suara, sedangkan yang lainnya tetap duduk mengelilingi api unggun. Aku bersama Fadil dan Rizal dengan membawa senter segera mendekati sumber suara itu. Aku membawa sebongkah  kayu untuk berjaga-jaga dari bahaya. Ke tempat itu kami melewati tempat orang tua itu berjualan. Entah kemana ia menghilang, yang terlihat adalah lilin-lilin berbentuk segita dengan lingkaran ditengahnya. Aku sudah begitu khawatir apakah mobil ayahku akan baik-baik saja. Kami berlari, ternyata kekhawatiranku itu benar. Yang terlihat adalah mobil ayahku yang rusak parah karena menabrak pohon. Kami mendekat, kami tidak melihat siapapun yang menyetir mobil ayahku. Tak ada jejak apapun. Aku tak tahu, entah apa yang harus kukatakan kepada kedua orang tuaku. Kami segera kembali ke tenda dengan rasa takut yang membawa kami, kami berlari secepatnya ke teman-teman kami lainnya. Tetapi kita kehilangan arah. Seperti kita tersesat, padahal kita begitu yakin bahwa jalan yang kita lalui itu sudah benar. Kita berteriak satu persatu kita panggil temanku dengan keras “Azizah! Arinah! Hadi! Fara!” Tak ada balasan apapun yang kami dengar. Kami memilih kembali ke mobil dan mencoba apakah mobil itu masih tetap bekerja atau tidak. Kucoba beberapa kali menyalakan mobilnya, pada akhirnya nihil. Padahal bensin yang terisi masih setengah penuh.  

            Kami kebingungan, duduk disamping mobil, Rizal lalu membenarkan kata-kataku. “Seharusnya kita mendengarkan Randi sejak awal, tempat ini memang tidak beres!”
            Dengan nafas terangah-angah aku menatap kedepan. Sesosok wanita bergaun putih menghampiriku. Tak berani aku menatap wajahnya, entah seperti apa rupanya. Aku menatap Rizal dan Fadil, kami bertemu pandang. Ternyata kami melihat suatu hal yang sama. Kami beku, tidak sanggup berkata. Dengan kaki dan tangan bergemetaran kami bersama sama mengumpulkan nafas dan berteriak sambil berlari menghindari sosok menyeramkan itu. Tanpa mengenal arah kita menjauhinya dan tertemukan sebuah rumah dengan lampu depannya menyala. Aku mengedor pintu depannya dengan keras tak peduli siapa yang ada di dalamnya. Tetapi pintu tetap saja tidak dibukakan. Rizal sambil berteriak mengatakan bahwa wanita itu makin mendekat. Tanpa pikir panjang aku menendang pintu itu hingga terbuka. Kita masuk dan segera menutup pintu itu.

            Di dalam rumah itu, kami segera mencari cara untuk menutupi pintu itu. Sehingga kursi yang ada di ruangan depan itu kami gunakan untuk menutupi pintunya. Kami merasa tenang untuk sesaat, mengambil nafas yang dalam sambil memikirkan apa yang telah terjadi. Setelah aku cukup tenang, aku mengelilingi setiap ruangan yang ada di rumah itu sendiri dengan senter. Sepertinya cukup sepi sampai aku masuk ke dalam suatu ruangan, tampaknya seperti kamar tidur, aku melihat darah bercucuran… Aku melihat kepala sang kakek terpenggal dengan matanya melotot terbuka di tempat tidur, tanpa memikirkan anggota tubuh lainnya aku segera berlari ke Rizal dan Fadil. Mereka tidak ingin tau, tiba-tiba suara handphone milik Rizal berbunyi, Hadi menelpon, kami kebingungan karena sejak pertama kali kami memasuki taman itu, tidak ada sinyal yang terdapat di selluler-selluler milik kami. Rizal segera mengangkatnya.
            “Hey kalian dimana! Kok dari tadi belum datang-datang! Cewek-cewek khawatir nih!” Teriak Hadi dari handphone.
            “Kita tersesat di! Padahal jalannya sudah kita tandai tetapi saat kita balik sudah tidak ada! Mobilnya rusak! Lalu kok tiba-tiba sinyal jadi penuh gini!” Teriak Rizal juga membalas teriakan Hadi.
         “Aku juga tidak tau, tetapi kakek-kakek tadi itu ada disini, ia memberi kita makan, ia juga ingin mencari tempat yang hangat, pokoknya sejak kakek itu kesini, itulah saat kita menemukan sinyal” Jawab Hadi dengan suara yang pelan dari handphone.
            Kami bertigapun kembali ke dalam suasana jantung yang berdetak cepat. Tak membalas omongan Hadi, Fadil bertanya kepadaku “Bukannya kau bilang kau menemukan kepala kakek itu terpenggal?”

           Akhirnya Hadi datang dari penantian panjang mengingat kejadian seminggu yang lalu itu. Aku menaiki motor ninja milik hadi lalu kita pergi ke rumah Azizah untuk mengerjakan tugas dari dosen kita yang belum usai, yang lain sudah menunggu kita disana…


To Be Continued