Rabu, 08 Januari 2014
Malam Ritual
Malam sunyi ini mengingatku tentang kejadian seminggu
yang lalu yang hampir merenggut nyawaku. Sendiri menunggu kedatangan temanku di
dekat sebuah taman dikelilingi oleh pohon-pohon yang besar dan tinggi. Serasa
aku sedang bermain dalam sebuah acara uji nyali dan jika aku tak kuat aku dapat
melambaikan tanganku, naik taxi dan meninggalkan temanku saat ia datang kemari
nanti. Rasa takutku sudah hilang sejak kejadian seminggu lalu itu.
Seminggu
yang lalu aku dan teman-temanku pergi untuk berkemah di Taman Nasional Baluran. Kami memang berencana untuk datang ke tempat itu di
sore hari. Sudah lengkap semua perlengkapan kita, lalu kita segera menuju ke
tempat menggunakan mobil panther milik ayahku. Sepanjang perjalanan, kita
bernyanyi menghanguskan rasa bosan kita. Tidak seperti biasanya tempat itu sepi,
lalu kami bertanya kepada orang yang sedang berjualan di tempat itu. Semua
tutup, hanya satu orang yang berjualan. Dia sudah tua, berambut putih, dan
kulitnya sudah mulai keriput. Tetapi, penjelasan yang paling tepat mengenai
dirinya adalah wajahnya yang menyeramkan. Kami bertanya, kemana semua orang
pergi? Ia malah berbalik tanya kepada kami, kenapa kami tidak ikut pergi?...
Lalu aku berpikir sejenak, jika semua orang pergi, apakah dagangan orang tua
ini akan laku? Kami semua tidak menjawab apa yang orang tua itu tanyakan, hanya
saling pandang dan akhirnya kami pergi meninggalkannya. Kami pergi dan aku
hanya menatap wajahnya. Semakin jauh, aku melihatnya tertawa ke arah kami. Aku
berkata kepada teman-teman, bahwa sebaiknya kita pergi dari sini tetapi mereka
malah menjawab “Kau takut ya?”
Bayang-bayang
senyuman sinis orang tua itu masih menjadi misteri bagiku. Akhirnya kami
menemukan tempat yang nyaman untuk mendirikan tenda. Lokasi kami tidak jauh dari
tempat kita memarkirkan mobil. Akhirnya teman-temanku segera mendirikan tenda
sebelum langit berubah menjadi gelap. Aku hanya berdiri sendiri melihat keadaan
yang sepi saat itu. Hanya delapan orang yang ada di tempat itu kalau orang tua
itu juga ikut dihitung. Kami hanya bertujuh. Empat laki-laki dan tiga
perempuan. Dan hanya kami yang menjadi pengunjung di hari itu.
Setelah
semua kegiatan kami selesai, kami membuat api unggun dan bernyanyi-nyanyi
seraya meramaikan suasana sepi di tempat itu. Belum selesai dengan semua
kesenangan itu, tak lama kemudian kami mendengar sebuah benturan keras seperti
suara mobil yang menabrak pohon. Kami semua terkejut. Aku bersama dua orang
temanku menuju ke sumber suara, sedangkan yang lainnya tetap duduk mengelilingi
api unggun. Aku bersama Fadil dan Rizal dengan membawa senter segera mendekati
sumber suara itu. Aku membawa sebongkah kayu untuk berjaga-jaga dari bahaya. Ke tempat
itu kami melewati tempat orang tua itu berjualan. Entah kemana ia menghilang,
yang terlihat adalah lilin-lilin berbentuk segita dengan lingkaran ditengahnya.
Aku sudah begitu khawatir apakah mobil ayahku akan baik-baik saja. Kami
berlari, ternyata kekhawatiranku itu benar. Yang terlihat adalah mobil ayahku
yang rusak parah karena menabrak pohon. Kami mendekat, kami tidak melihat
siapapun yang menyetir mobil ayahku. Tak ada jejak apapun. Aku tak tahu, entah
apa yang harus kukatakan kepada kedua orang tuaku. Kami segera kembali ke tenda
dengan rasa takut yang membawa kami, kami berlari secepatnya ke teman-teman
kami lainnya. Tetapi kita kehilangan arah. Seperti kita tersesat, padahal kita
begitu yakin bahwa jalan yang kita lalui itu sudah benar. Kita berteriak satu
persatu kita panggil temanku dengan keras “Azizah! Arinah! Hadi! Fara!” Tak ada
balasan apapun yang kami dengar. Kami memilih kembali ke mobil dan mencoba
apakah mobil itu masih tetap bekerja atau tidak. Kucoba beberapa kali
menyalakan mobilnya, pada akhirnya nihil. Padahal bensin yang terisi masih
setengah penuh.
Kami
kebingungan, duduk disamping mobil, Rizal lalu membenarkan kata-kataku.
“Seharusnya kita mendengarkan Randi sejak awal, tempat ini memang tidak beres!”
Dengan
nafas terangah-angah aku menatap kedepan. Sesosok wanita bergaun putih
menghampiriku. Tak berani aku menatap wajahnya, entah seperti apa rupanya. Aku
menatap Rizal dan Fadil, kami bertemu pandang. Ternyata kami melihat suatu hal
yang sama. Kami beku, tidak sanggup berkata. Dengan kaki dan tangan
bergemetaran kami bersama sama mengumpulkan nafas dan berteriak sambil berlari
menghindari sosok menyeramkan itu. Tanpa mengenal arah kita menjauhinya dan
tertemukan sebuah rumah dengan lampu depannya menyala. Aku mengedor pintu
depannya dengan keras tak peduli siapa yang ada di dalamnya. Tetapi pintu tetap
saja tidak dibukakan. Rizal sambil berteriak mengatakan bahwa wanita itu makin mendekat.
Tanpa pikir panjang aku menendang pintu itu hingga terbuka. Kita masuk dan
segera menutup pintu itu.
Di
dalam rumah itu, kami segera mencari cara untuk menutupi pintu itu. Sehingga
kursi yang ada di ruangan depan itu kami gunakan untuk menutupi pintunya. Kami merasa
tenang untuk sesaat, mengambil nafas yang dalam sambil memikirkan apa yang
telah terjadi. Setelah aku cukup tenang, aku mengelilingi setiap ruangan yang
ada di rumah itu sendiri dengan senter. Sepertinya cukup sepi sampai aku masuk
ke dalam suatu ruangan, tampaknya seperti kamar tidur, aku melihat darah
bercucuran… Aku melihat kepala sang kakek terpenggal dengan matanya melotot
terbuka di tempat tidur, tanpa memikirkan anggota tubuh lainnya aku segera
berlari ke Rizal dan Fadil. Mereka tidak ingin tau, tiba-tiba suara handphone
milik Rizal berbunyi, Hadi menelpon, kami kebingungan karena sejak pertama kali
kami memasuki taman itu, tidak ada sinyal yang terdapat di selluler-selluler
milik kami. Rizal segera mengangkatnya.
“Hey
kalian dimana! Kok dari tadi belum datang-datang! Cewek-cewek khawatir nih!” Teriak
Hadi dari handphone.
“Kita
tersesat di! Padahal jalannya sudah kita tandai tetapi saat kita balik sudah
tidak ada! Mobilnya rusak! Lalu kok tiba-tiba sinyal jadi penuh gini!” Teriak
Rizal juga membalas teriakan Hadi.
“Aku
juga tidak tau, tetapi kakek-kakek tadi itu ada disini, ia memberi kita makan,
ia juga ingin mencari tempat yang hangat, pokoknya sejak kakek itu kesini,
itulah saat kita menemukan sinyal” Jawab Hadi dengan suara yang pelan dari
handphone.
Kami
bertigapun kembali ke dalam suasana jantung yang berdetak cepat. Tak membalas
omongan Hadi, Fadil bertanya kepadaku “Bukannya kau bilang kau menemukan kepala
kakek itu terpenggal?”
Akhirnya
Hadi datang dari penantian panjang mengingat kejadian seminggu yang lalu itu.
Aku menaiki motor ninja milik hadi lalu kita pergi ke rumah Azizah untuk
mengerjakan tugas dari dosen kita yang belum usai, yang lain sudah menunggu
kita disana…
To Be Continued
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar