A Little Introducing

Malang, Jawa Timur, Indonesia
Birth name Ilham Rianto. Im just an ordinary guy with some ordinary writings who one day will be a movie director.

Rabu, 08 Januari 2014

Malam Ritual

Malam Ritual


            Malam sunyi ini mengingatku tentang kejadian seminggu yang lalu yang hampir merenggut nyawaku. Sendiri menunggu kedatangan temanku di dekat sebuah taman dikelilingi oleh pohon-pohon yang besar dan tinggi. Serasa aku sedang bermain dalam sebuah acara uji nyali dan jika aku tak kuat aku dapat melambaikan tanganku, naik taxi dan meninggalkan temanku saat ia datang kemari nanti. Rasa takutku sudah hilang sejak kejadian seminggu lalu itu.

            Seminggu yang lalu aku dan teman-temanku pergi untuk berkemah di Taman Nasional Baluran. Kami memang berencana untuk datang ke tempat itu di sore hari. Sudah lengkap semua perlengkapan kita, lalu kita segera menuju ke tempat menggunakan mobil panther milik ayahku. Sepanjang perjalanan, kita bernyanyi menghanguskan rasa bosan kita. Tidak seperti biasanya tempat itu sepi, lalu kami bertanya kepada orang yang sedang berjualan di tempat itu. Semua tutup, hanya satu orang yang berjualan. Dia sudah tua, berambut putih, dan kulitnya sudah mulai keriput. Tetapi, penjelasan yang paling tepat mengenai dirinya adalah wajahnya yang menyeramkan. Kami bertanya, kemana semua orang pergi? Ia malah berbalik tanya kepada kami, kenapa kami tidak ikut pergi?... Lalu aku berpikir sejenak, jika semua orang pergi, apakah dagangan orang tua ini akan laku? Kami semua tidak menjawab apa yang orang tua itu tanyakan, hanya saling pandang dan akhirnya kami pergi meninggalkannya. Kami pergi dan aku hanya menatap wajahnya. Semakin jauh, aku melihatnya tertawa ke arah kami. Aku berkata kepada teman-teman, bahwa sebaiknya kita pergi dari sini tetapi mereka malah menjawab “Kau takut ya?”

            Bayang-bayang senyuman sinis orang tua itu masih menjadi misteri bagiku. Akhirnya kami menemukan tempat yang nyaman untuk mendirikan tenda. Lokasi kami tidak jauh dari tempat kita memarkirkan mobil. Akhirnya teman-temanku segera mendirikan tenda sebelum langit berubah menjadi gelap. Aku hanya berdiri sendiri melihat keadaan yang sepi saat itu. Hanya delapan orang yang ada di tempat itu kalau orang tua itu juga ikut dihitung. Kami hanya bertujuh. Empat laki-laki dan tiga perempuan. Dan hanya kami yang menjadi pengunjung di hari itu.

            Setelah semua kegiatan kami selesai, kami membuat api unggun dan bernyanyi-nyanyi seraya meramaikan suasana sepi di tempat itu. Belum selesai dengan semua kesenangan itu, tak lama kemudian kami mendengar sebuah benturan keras seperti suara mobil yang menabrak pohon. Kami semua terkejut. Aku bersama dua orang temanku menuju ke sumber suara, sedangkan yang lainnya tetap duduk mengelilingi api unggun. Aku bersama Fadil dan Rizal dengan membawa senter segera mendekati sumber suara itu. Aku membawa sebongkah  kayu untuk berjaga-jaga dari bahaya. Ke tempat itu kami melewati tempat orang tua itu berjualan. Entah kemana ia menghilang, yang terlihat adalah lilin-lilin berbentuk segita dengan lingkaran ditengahnya. Aku sudah begitu khawatir apakah mobil ayahku akan baik-baik saja. Kami berlari, ternyata kekhawatiranku itu benar. Yang terlihat adalah mobil ayahku yang rusak parah karena menabrak pohon. Kami mendekat, kami tidak melihat siapapun yang menyetir mobil ayahku. Tak ada jejak apapun. Aku tak tahu, entah apa yang harus kukatakan kepada kedua orang tuaku. Kami segera kembali ke tenda dengan rasa takut yang membawa kami, kami berlari secepatnya ke teman-teman kami lainnya. Tetapi kita kehilangan arah. Seperti kita tersesat, padahal kita begitu yakin bahwa jalan yang kita lalui itu sudah benar. Kita berteriak satu persatu kita panggil temanku dengan keras “Azizah! Arinah! Hadi! Fara!” Tak ada balasan apapun yang kami dengar. Kami memilih kembali ke mobil dan mencoba apakah mobil itu masih tetap bekerja atau tidak. Kucoba beberapa kali menyalakan mobilnya, pada akhirnya nihil. Padahal bensin yang terisi masih setengah penuh.  

            Kami kebingungan, duduk disamping mobil, Rizal lalu membenarkan kata-kataku. “Seharusnya kita mendengarkan Randi sejak awal, tempat ini memang tidak beres!”
            Dengan nafas terangah-angah aku menatap kedepan. Sesosok wanita bergaun putih menghampiriku. Tak berani aku menatap wajahnya, entah seperti apa rupanya. Aku menatap Rizal dan Fadil, kami bertemu pandang. Ternyata kami melihat suatu hal yang sama. Kami beku, tidak sanggup berkata. Dengan kaki dan tangan bergemetaran kami bersama sama mengumpulkan nafas dan berteriak sambil berlari menghindari sosok menyeramkan itu. Tanpa mengenal arah kita menjauhinya dan tertemukan sebuah rumah dengan lampu depannya menyala. Aku mengedor pintu depannya dengan keras tak peduli siapa yang ada di dalamnya. Tetapi pintu tetap saja tidak dibukakan. Rizal sambil berteriak mengatakan bahwa wanita itu makin mendekat. Tanpa pikir panjang aku menendang pintu itu hingga terbuka. Kita masuk dan segera menutup pintu itu.

            Di dalam rumah itu, kami segera mencari cara untuk menutupi pintu itu. Sehingga kursi yang ada di ruangan depan itu kami gunakan untuk menutupi pintunya. Kami merasa tenang untuk sesaat, mengambil nafas yang dalam sambil memikirkan apa yang telah terjadi. Setelah aku cukup tenang, aku mengelilingi setiap ruangan yang ada di rumah itu sendiri dengan senter. Sepertinya cukup sepi sampai aku masuk ke dalam suatu ruangan, tampaknya seperti kamar tidur, aku melihat darah bercucuran… Aku melihat kepala sang kakek terpenggal dengan matanya melotot terbuka di tempat tidur, tanpa memikirkan anggota tubuh lainnya aku segera berlari ke Rizal dan Fadil. Mereka tidak ingin tau, tiba-tiba suara handphone milik Rizal berbunyi, Hadi menelpon, kami kebingungan karena sejak pertama kali kami memasuki taman itu, tidak ada sinyal yang terdapat di selluler-selluler milik kami. Rizal segera mengangkatnya.
            “Hey kalian dimana! Kok dari tadi belum datang-datang! Cewek-cewek khawatir nih!” Teriak Hadi dari handphone.
            “Kita tersesat di! Padahal jalannya sudah kita tandai tetapi saat kita balik sudah tidak ada! Mobilnya rusak! Lalu kok tiba-tiba sinyal jadi penuh gini!” Teriak Rizal juga membalas teriakan Hadi.
         “Aku juga tidak tau, tetapi kakek-kakek tadi itu ada disini, ia memberi kita makan, ia juga ingin mencari tempat yang hangat, pokoknya sejak kakek itu kesini, itulah saat kita menemukan sinyal” Jawab Hadi dengan suara yang pelan dari handphone.
            Kami bertigapun kembali ke dalam suasana jantung yang berdetak cepat. Tak membalas omongan Hadi, Fadil bertanya kepadaku “Bukannya kau bilang kau menemukan kepala kakek itu terpenggal?”

           Akhirnya Hadi datang dari penantian panjang mengingat kejadian seminggu yang lalu itu. Aku menaiki motor ninja milik hadi lalu kita pergi ke rumah Azizah untuk mengerjakan tugas dari dosen kita yang belum usai, yang lain sudah menunggu kita disana…


To Be Continued


0 komentar:

Posting Komentar